Selasa, 18 Agustus 2020

BALADA PENULIS PEMULA

Oleh : Herlin Variani,S.Pd.

 

“Idiot!” Komen itu sempat membuyarkan semangat menulisku. Sebagai penulis pemula, aku sangat terpukul dengan komentar sadis itu.

Fenomena yang dihadapi begitu bervariasi. Ketika keinginan menulis berusaha diwujudkan oleh seorang anak manusia. Apalagi jika memberanikan diri untuk mempublish tulisan sederhana yang baru saja ditorehkannya, di akun media sosial yang dipunya.

Dapat dipastikan respon yang dituai begitu beragam. Mulai dari like yang kerap dibubuhkan pada akun media sosial penulis yang baru berusia seumur jagung itu, hingga ejekan pun diterima.

Namun, like itu tak membuat diri melayang. Terhadap tulisan yang disebut begitu mengundang inspirasi. Bukan tak percaya akan ketulusan pujian mereka. Tapi sebagai penulis pemula, diri sangat tau dan memahami kualitas tulisan yang belum teruji.

Begitu juga dengan ejekan yang  dikirimkan. Bahkan pesan picisan bernada rendahanpun Insya Allah tak akan membobol harapan dan tekad yang telah terpatri. Bukan karena merasa kualitas oretan sudah sangat berbobot. Melainkan karena sangat mengerti siapa yang sedang dihadapi.

***

Itu kira-kira suara hati yang acapkali hadir menyapa seorang penulis pemula. Tulisan yang di publikasikan pada waktu yang berbeda mendapat like bertubi-tubi dari followers pada menit yang sama. Bagaimana itu bisa terjadi? Tulisan super panjang yang  masih berefek memusingkan kepala saat dibaca itu, bisa dipahami dalam tempo yang begitu singkat.

Sebagai pemilik tulisan saja, yang telah melahirkan oretan itu, kadang saya masih didera rasa pusing saat membacanya. Apalagi mereka sebagai pembaca yang tentu lebih lihai dalam menilai. Bahkan tak jarang mereka mengirimkan pesan penyemangat via whatsup. Do'a-do'apun mereka kirimkan. Alhamdulillah. Semoga do'a-do'a itu Allah kabulkan. Do'a yang sama untuk mereka.

Namun saat bertanya pada mereka, apa topik pada tulisan yang telah mereka puji? Apa ada kesalahan pengetikan disana? Jawaban tak serta merta didapatkan. Tiba-tiba percakapan via media sosial terjeda. Sungguh sangat mengherankan. Kenapa mereka tidak punya jawaban? Padahal sebelumnya berbicara berapi-api melalui pesan whatsup nya. Itu terjadi berkali-kali dan didapatkan dari orang yang berbeda.

"Ah, ternyata mereka cuma sedekah like di akun media sosial penulis pemula ini sobat".

"Thank you atas sumbangannya." Tawa hampa pun bergema dalam ruang pikiran.

Hal yang sama terjadi ketika ada pihak yang mengejek untaian kata yang sudah dirangkai mati-matian. Ketika ditanya siapa nama tokoh yang disebut dalam artikel yang sedang diejeknya? Mereka tak bisa segera menjawab. Minta saran perbaikanpun tak digubrisnya. Butuh waktu untuk memberikan jawaban. Padahal status masih online. Kenapa pembicaraan tiba-tiba terhenti. Tak selancar pesan ejekan yang baru saja dihadiahkannya. Apa mereka baru akan membaca oretan penulis pemula ini? Ketika pertanyaan tak terduga muncul dari pemilik tulisan yang dihinanya?

Sejak saat itu, sebagai penulis pemula saya mulai menata hati. Tidak terlalu terpengaruh dengan kicauan yang tak memiliki energi positif. Buang saja semua ocehan yang akan mematikan potensi. Jangan terlalu bahagia menerima pujian yang melenakan. Karena, belum tentu mereka yang telah menabur pujian atau menyematkan hinaan itu sudah membaca karya tulis kita dengan saksama. Entah itu membaca sekilas ataupun membaca penuh penghayatan.

Mari sama-sama belajar mengelola pujian dan kritikan tajam sekalipun dengan porsi biasa saja. Agar tak mudah melambung lalu terhempaskan. Itu sangat menyakitkan. Atau terpuruk dengan cercaan. Lalu enggan untuk bangkit lagi. Itu semua akan merugikan diri sendiri.

Jangan pernah berhenti berkarya Teruslah menulis tanpa terhenti oleh komentar orang lain. “Terus saja menulis untuk menuju keabadian serta membuat hidup lebih bermakna.” (Cahyadi Takariawan)

Pengantin Surga

 

Oleh : Herlin Variani,S.Pd

 

Allah Akbar 3x

Alunan suara takbir begitu merdu. Menderu di setiap sudut rumah malam itu. Menghiasi malam tanpa rembulan. Menyapa jiwa yang penat. Lelah melewati perjalanan mengejar kenikmatan dunia fana yang penuh fatamorgana.

Gerimis menderas. Membasahi relung jiwa. Menyaksikan fenomena tak biasa. Tanah suci Mekkah Al Mukarromah sepi pengunjung di musim haji tahun ini. Kalimah talbiyah tak lagi menggema dahysat memenuhi penjuru langit seperti tahun-tahun sebelumnya.

Gelombang manusia tak terlihat. Lautan masa yang biasanya selalu memenuhi padang arafah di hari raya kurban itu, kini seolah sirna. Tak ada nuansa berebutan mengejar “hajar aswad.” Tak terlihat langkah kaki bani Adam dengan lari-lari kecilnya. Untuk mendapatkan syaf  terdepan di Masjidil Haram nan suci itu.

Sepi. Sunyi. Semuanya dipenuhi ketenangan. Keramaian di musim haji tahun ini raib dari pandangan mata.

Karena wabah corona yang menyerang nyaris seluruh daratan di bumi. Membuat berbagai kebijakan diambil. Protap kesehatan di jalankan hampir di seluruh dunia. Demi menjaga keselamatan jiwa manusia. Dari terjangan makhluk tak kasat mata, namun telah membuat banyak korban berjatuhan. Bahkan menyebabkan angka kematian mulai tak terhitung.

Ia bagai laskar di akhir zaman. Menghentikan kebisingan kota. Menyulap keramaian di berbagai tempat menjadi area penuh kesunyian. Bahkan di era new normal ini pun angka positif terdampak covid-19 tetap saja naik dengan tajamnya.

Ini penyebab utama dua kota suci itu menjadi sangat sepi di musim haji tahun ini. Yakni Makkah Al Mukarromah dan Madinah Al Munawarah. Walaupun biasanya terjadi ledakan pengunjung muslim yang berasal dari seluruh penjuru dunia.

Momentum besar bagi umat Islam yang kehadirannya selalu dinantikan tiap tahun, kini disambut dengan hati berembun.

Tapi? Lihatlah! Ada sebuah pemandangan menakjubkan. Memenuhi layar gadget dan media elektronik. Menyajikan gambar bergerak. Aktivitas spiritual di tanah haram yang dilakukan segelintir orang pada hari raya idul adha tahun ini.

Siapa mereka? Mereka adalah para tamu Allah yang terpilih. Mengalahkan ancaman pandemi covid-19. Mereka segelintir umat Islam yang tahun ini mendapatkan hak istimewa. Untuk tetap bisa melaksanakan ibadah haji di tengah wabah corona.

Hamba-hamba pilihan itu tampak berjalan anggun melintasi masjidil haram. Tak ada langkah tergesa dan saling mendahului. Bak pengantin dari surga. Mengelilingi ka’bah dengan tenang. Tanpa ada kerumunan. Gerakannya sangat tertata dan teratur. Tak terlihat aksi saling berdesakan.

Derap langkah penuh kedamaian itu melalui lintasan sa’i. Tak ada kemacetan insan di sana. Cahaya iman terpancar kuat dari wajah mereka. Tamu pilihan. Sedang menikmati hidangan lezat dari surga.

Jiwa tertegun. Benarkah ini petaka? Terhalangnya langkah kaki jutaan umat manusia. Untuk menunaikan rukun islam ke lima.

Bahkan sempat menghadirkan berbagai kecurigaan dan pemikiran buruk dari beberapa kalangan. Karena gagalnya diberangkatkan ke tanah suci tahun ini. Padahal telah sabar menunggu sejak belasan tahun lalu.

Tak sedikit yang meraung. Menyesali keadaan ini. Khawatir usia tak sampai. Jika ibadah dambaan semua anak cucu Adam ini ditunda. Penundaan keberangkatan tahun ini otomatis akan memperlama jadwal menunggu jamaah haji tahun berikutnya.

Kecemasan itu menghadirkan rasa risau dan gundah di hati saudara kita ini. Bahkan bukan tak munkin, rasa resah itu juga menghampiri sanubari kita. Karena juga telah mendaftar dan direncanakan berangkat belasan tahun ke depan. Namun dengan ditundanya keberangkatan jamaah tahun ini, otomatis jadwal kita juga akan tertangguhkan.

Tetapi, di lain sisi nurani bertanya. Mungkinkah ini sebuah skenario indah dari Sang Pemilik Ketetapan? Yang memiliki hak dan kekuasaan secara penuh. Untuk mengatur segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi.

Pikirpun melayang. Sanubari berbisik. Sepertinya Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang ingin memanjakan insan pilihannya tahun ini. Menikmati kekhusyukan tanpa adanya gangguan keramaian di Baitullah sana.

Menghadapkan wajah penuh harap dengan kekuatan iman yang dahsyat pada Sang Khalik. Tanpa adanya hiasan kebisingan suara umat manusia.

Gerimis kian menderas di dalam hati. Bukan lagi karena kesedihan yang mendera. Atau karena kecemasan yang semankin mencuat. Bukan karena takut tertunda keberangkatan untuk melaksanakan ibadah haji yaang telah lama diimpikan.

Tetapi air mata yang turun kian deras ini. Disebabkan oleh rasa kecemburuan yang terus memburu. Terhadap mereka hamba istimewa. Yang telah mencuri perhatian Sang Pencipta. Lalu mendapat perlakuan khusus. Menerima rangkulan penuh cinta. Dari Sang Maha Pemilik Cinta.

Menjadi pengantin surga. Dilayani dengan perlakuan spetakuler di kota suci oleh Tuhan Yang Maha Pencipta. Memperoleh keberkahan berlapis di hari raya idul adha ini.

Entah seberapa istimewa ketaatan para tamu Allah itu selama ini. Sebuah amalan unggulan yang munkin mereka miliki. Hingga langkah kaki untuk menunaikan ibadah haji tak terhalang oleh wabah yang sedang melanda. Tak tertahan oleh kebijakan pemerintah yang membatasi jumlah jamaah haji tahun 2020 ini.

Melihat fenomena spetakuler yang terpampang secara terang di hadapan mata, hendaknya kita dapat mengambil pelajaran berharga. Jangan saling melempar tuduhan atas setiap kejadian yang menimpa kehidupan kita. Akan lebih baik jika selalu berpikir positif dalam menghadapi kenyataan yang menghampiri diri.

Sebab,  apa yang anda alami hari ini adalah dampak dari pikiran anda kemarin. Apa yang akan anda alami esok hari adalah dampak dari pikiran anda hari ini. Pikiran yang sedang anda bayangkan saat ini sedang menciptakan kehidupan masa depan anda.” (Dr. Ibrahim Elfiky)


Tangisan sendu di malam takbiran Idul Adha

Kamis, 30 Juli 2020