Oleh : Herlin Variani,S.Pd
Mata memanas. Bulir-bulir bening tak
terbendung. Menganak sungai membasahi pipi pagi ini. Kebisingan kota seolah
menghilang sejenak. Pikiran menerawang ke angkasa. Ada apa dengan negeriku?
Sebuah pemandangan ironis memenuhi
layar gadget. Sosok tubuh renta penuh
penderitaan. Tiada cahaya menghiasi matanya. Tak ada senyuman bergelayut di
bibir.
Hanya tubuh ringkih penuh luka yang
terlihat. Terbungkus pakaian yang sudah tak layak pakai. Pandangannya begitu
redup. Kelumpuhan menyempurnakan kondisi rentanya.
Tinggal sebatang kara di sebuah hunian
yang tidak layak disebut sebagai rumah. Melahirkan rasa iba bagi setiap mata
yang memandang.
Jika perut si nenek lapar, ia
memukulkan piring plastik ke lantai gubuk. Beruntung jika ada yang mendengar.
Makanan pun bisa didapat melaui belas kasihan orang yang melihat.
Malangnya, jika tak ada yang mendengar isarat
dari si nenek, maka ia akan tertidur dalam kondisi perut kosong. Itu yang
terlihat pada video yang tersebar tanpa terkendali pada media sosial.
Sebuah pemandangan pilu yang baru saja menggemparkan
Ranah Minang. Melalui investigasi masyarakat setempat, terhimpun sebuah data
mengejutkan. Ternyata nenek renta penuh derita ini memiliki seorang anak berpendidikan
tinggi. Bahkan berkarir sebagai seorang kepala sekolah.
Tak ayal lagi, si anak menjadi santapan
bulian. Bahkan bahan empuk untuk mempermanis berita. Hujatan terdengar begitu
riuh. Wajah cantik anak terpampang begitu terang. Tak ada pemburaman gambar
sama sekali.
Foto-foto cantik itu diiringi dengan
pesan kutukan para netizen. Miris. Semua yang berada di posisi penonton merasa
benar. Sibuk menghakimi, mencerca bahkan merendahkan.
***
Fenomena di atas baru saja terjadi.
Menghiasi layar berita yang berasal dari Ranah Minang. Membuat geram setiap
mata yang memandang. Kemarahan menyeruak.
Namun, penulis memiliki sedikit
pandangan yang berbeda. Tak terbersit keinginan untuk ikut memviralkan berita
tersebut. Bahkan mencoba mengingatkan pada rekan kerja. Untuk menghentikan
penyebaran berita pilu ini. Karena tidak layak di konsumsi oleh publik.
Pada hakekatnya, penulis tidak memiliki
hubungan apapun dengan objek berita yang menggemparkan ini. Kenal saja tidak.
Namun, sebagai seorang pendidik, memiliki sebuah pandangan berbeda dengan para
netizen. Mohon maaf untuk itu.
Akan labih bijak jika yang dicari adalah
solusi terbaik. Penghujatan belum tentu merubah keadaan. Bukan tidak munkin itu
membahayakan dan merugikan banyak pihak.
Akan lebih arif jika kita coba
mengkonfirmasi semuanya. Lalu mencarikan jalan terbaik. Hingga tak ada yang
dirugikan. Beban psikologis dari berbagai pihak tak berdosa juga bisa
diselamatkan.
Bagi kita yang melihat, itu semua bisa
menjadi pelajaran berharga. Jangan sampai kita menjadi anak yang menelantarkan
orang tua. Begitu banyak jasanya yang tak akan mampu kita balas.
Menyaksikan fenomena ini, sebagai seorang
guru dan orang tua kita dapat mengambil hikmah bermanfaat. Hendaknya, kita
lebih serius dalam menanamkan pendidikan karakter pada anak.
Akan sangat penting mendahulukan adab
sebelum membekali mereka dengan pendidikan formal yang tinggi. Supaya generasi
berikutnya yang terlahir tidak hanya cerdas. Tapi juga beradab.
Hingga, mereka tidak melakukan
kesalahan yang sama. Menelantarkan orang yang telah membesarkannya. Lalu kita
jadi korban berikutanyaa. Na’udzubillah. Semoga kita terhindar dari itu semua.
Tidak kalah pentingnya lagi, sebagai
muslim dan kaum beradat kental seperti Minang kabau, hendaknya kita juga pandai
dalam mengambil sikap.
Sudah menjadi rahasia umum, Minang
Kabau memiliki semboyan yang melekat kuat pada syariat Islam. Yakni, Adaik basandi syarak, syarak basandi
kitabullah.
Semboyan singkat ini memilki muatan
pesan moral yang sangat padat. Menggambarkan, bahwa seluruh yang terkait dengan
adat Ranah Minang ini memiliki dasar al qur’an. Landasan kebenaran yang tak
bisa ditawar.
Berangkat dari sana, tak ada satu poin
adat pun yang membenarkan kita diperbolehkan membuka aib orang lain. Begitu
juga dengan aturan yang tertera pada al qur’an.
Tak ada pembenaran terhadap prilaku
membuka kesalahan seseorang. Apa lagi jika itu dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.
Kalaupun harus dibuka, tidak untuk
disajikan pada publik. Melainkan dalam sebuah ruang tertutup untuk kepentingan
tertentu. Misalnya dalam ruang persidangan untuk untuk menyelesaikan sebuah
kasus.
Untu kedepannya, mari semua kita bijak
dalam bertindak. Apalagi mengelola media sosial. Perlu kehati-hatian yang
ekstras. Agar tak salah langkah. Membahayakan diri sendiri dan merugikan orang
banyak. Wallahua’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar