Minggu, 26 Juli 2020

Guru Sakit Gigi

Guru Sakit Gigi

Herlin Variani

Guru SDN 11 Padang Sibusuk

 

“Lebih baik sakit gigi…dari pada sakit hati…red”

Sebuah lirik lagu yang kerap kali terdengar diera 90-an dulu. Tembang yang dinyanyikan oleh seorang laki-laki ini sangat popular di zamannya. Masyarakat banyak ikut menyenandungkan lirik ini. Seolah mereka benar-benar yakin bahwa sakit gigi bukan masalah besar.

Namun diakhir tahun 2017 ini penulis baru merasakan bahwa senandung yang sering didengar di zaman SD ini sama sekali tak benar. Andai hati bisa memilih, jangan pernah sakit gigi ini singgah. Karena sakit yang dirasakan luar biasa. Sekali disapa oleh si Mister sakit gigi langsung dapat yang super. Saat proses belajar mengajar di kelas sedang berlangsung, rasa sakit luar biasa menyerang rahang bawah bagian kanan. Badan menggigil dan panas dingin. Bibirpun terasa gatal dan serasa tusuk-tusuk jarum. Rahang bawah terasa penat-penat. Mata mulai berkunang-kunang.

Karena serangan rasa sakit yang luar biasa, akhirnya diputuskan meninggalkan ruangan kelas enam yang diampu saat itu sejenak. Menuju puskesmas terdekat. Setelah diperiksa, akhirnya mendapat sebuah vonis diluar dugaan dari dokter cantik nan ramah.

“Gigi terakhir ibuk tumbuh dengan posisi tidak normal. Selain posisi tidak normal, gigi bungsu ini juga sudah mengalami kerusakan. Ini sakitnya luar biasa ketimbang sakit gigi yang biasa dihadapi banyak orang. Sampai di kota Solok nanti (kebetulan penulis berdomisili di Solok), segera di bawa ke rumah sakit terdekat.” Sang dokter menjelaskan.

“Ya Rabb. Sekali kedatangan sakit gigi, dapat yang super.”

“Harus segera dilakukan operasi. Kalau tidak dia akan membuat kerusakan pada gigi di depannya.”

Ujarnya lagi sambil menuliskan resep. Walaupun penjelasan ini membuat shock, namun sebagai seorang terdidik dan berprofesi sebagai guru, penulis harus tetap tenang.

Dengan tenang, langkah kaki menuntun ke ruang belajar yang sempat ditinggalkan sejenak sembari membawa obat yang telah didapatkan dari apotik. Setelah minum obatpun rasa sakit masih menyerang dengan hebatnya. Dalam sakit gigi hatipun berkata,

“Ah, lagu lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati itu sama sekali tidak benar.”

Ingin rasanya hati bertanya padang orang-orang yang dulu sering menyanyikan lirik ini. Atas dasar apa lirik itu dinyanyikan. Bahkan dengan polosnya dulu, penulispun sempat menyanyikan lirik pendek itu.

Sakit gigi tidak ada enak-enaknya. Kalau boleh berharap, jangan pernah sakit gigi ini singgah pada diri. Selain rasa sakit luar biasa yang menyerang, makanpun sulitnya bukan main. Cacing-cacing diperut bersemangat minta jatah, namun apa daya, gigi menolak makanan lewat. Ini membuktikan bahwa sakit gigi bisa menyebabkan sakit-sakit lainnya. Bahkan bisa membuat penderitanya diserang oleh rasa sakit hati. Lagi-lagi hati bersikeras mengatakan bahwa sakit gigi tidak ada enaknya.

Namun dampak positif dari sakit gigi ini ada. Ibarat kata pepatah, segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. Banyak yang mengatakan sakit gigi bisa membuat sipenderita dibelenggu kemarahan. Mendengar orang bercerita marah. Melihat ayam berkokok marah. Namun semua ini terbantahkan oleh penulis. Siswa yang tidak tau gurunya sedang sakit gigi, tetap banyak bertanya. Bahkan sedikit kenakalan anak-anak pun mereka perlihatkan. Namun demikian tak ada sedikitpun terbersit dihati ingin marah pada mereka.

Bahkan zaman tempo dulu pernah mendengar dari orang yang pernah sakit gigi juga, katanya kalau sedang sakit gigi rasanya ingin makan orang. Ini juga terbantahkan. Siswa yang keluar dari kelas semuanya utuh. Tidak ada yang tewas karena dimakan oleh siguru yang sedang sakit gigi.

Tidak ada sedikitpun keinginan untuk marah pada siswa yang sedang dihadapi. Bahkan ada yang mengajak bercanda penulispun tidak marah. Karena jauh dilubuk hati paling dalam, sebagai seorang guru tersimpan rasa cinta luar biasa kepada siswa. Rasa cinta kepada generasi muda yang diyakini akan menjadi penerus perjuangan ini dalam membangun peradaban bangsa.

Saat kita mendidik dengan penuh cinta dan kasih sayang, diiringi ketulusan dan keikhlasan, maka sakit gigipun tak menjadi penghalang untuk terus mentransfer ilmu pada siswa. Sakit gigi tidak enak, tapi juga bukan penghalang untuk melaksanakan tugas sebagai guru. Bukan sakit gigi yang membuat kita bahkan seorang guru mudah marah, tapi suasana hati. Sakit gigi dihadapi dengan suasana hati yang tenang tetap akan membuat semuanya adem.Tidak benar sakit gigi menjadi sumber kemarahan. Namun memang membuat sipenderita agak sedikit pendiam.

Malahan saat dicoba bercerita pelan-pelan dengan siswa, rasa sakit mulai terlupakan. Tawa renyah dan bahasa-bahasa kritis yang lahir dari lisan polos mereka membuat nyeri luar biasa perlahan reda. Tidak adil rasanya jika sakit yang kita rasakan juga menyakiti orang-orang yang ada disekitar kita. Khususnya siswa kita. Mereka semua adalah manusia yang punya hati seperti kita. Mereka layaknya mendapat curahan ilmu dan kasih sayang dari guru. Bukan sebagai tempat hempasan kemarahan.

Apa jadinya bangsa ini dikemudian hari, jika sang pendidik menjadikan alasan sakit gigi sebagai pemicu kemarahan pada siswanya. Apapun alasannya, siswa bukan untuk dimarahi apalagi dikasari. Jangan jadikan sakit gigi atau sakit-sakit yang lainnya sebagai alasan untuk melepaskan kemarahan dan kedongkolan hati sang guru kepada siswa.

Jadilah guru yang baik dan penuh cinta. Ukir siswa ini menjadi generasi berkualitas yang siap terjun dalam membangun peradaban bangsa ini menjadi bangsa yang lebih manusiawi. Cetak mereka menjadi pionir-pionir penerus perjuangan kita dalam mengisi kemerdekaan ini. Agar bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas dan tidak terjajah lagi dalam bidang apapun.

NB : Muat di koran Singgalang, 17 Januari 2018

1 komentar: