Oleh : Herlin Variani,S.Pd.
“Idiot!” Komen itu sempat membuyarkan semangat menulisku. Sebagai
penulis pemula, aku sangat terpukul dengan komentar sadis itu.
Fenomena yang dihadapi begitu bervariasi. Ketika keinginan menulis berusaha
diwujudkan oleh seorang anak manusia. Apalagi jika memberanikan diri untuk mempublish tulisan sederhana yang baru saja
ditorehkannya, di akun media sosial yang dipunya.
Dapat dipastikan respon yang dituai begitu beragam. Mulai dari like yang kerap dibubuhkan pada akun
media sosial penulis yang baru berusia seumur jagung itu, hingga ejekan pun
diterima.
Namun, like itu tak membuat
diri melayang. Terhadap tulisan yang disebut begitu mengundang inspirasi. Bukan
tak percaya akan ketulusan pujian mereka. Tapi sebagai penulis pemula, diri
sangat tau dan memahami kualitas tulisan yang belum teruji.
Begitu juga dengan ejekan yang
dikirimkan. Bahkan pesan picisan bernada rendahanpun Insya Allah tak
akan membobol harapan dan tekad yang telah terpatri. Bukan karena merasa
kualitas oretan sudah sangat berbobot. Melainkan karena sangat mengerti siapa
yang sedang dihadapi.
***
Itu kira-kira suara hati yang acapkali hadir menyapa seorang penulis
pemula. Tulisan yang di publikasikan pada waktu yang berbeda mendapat like bertubi-tubi dari followers pada menit yang sama.
Bagaimana itu bisa terjadi? Tulisan super panjang yang masih berefek memusingkan kepala saat dibaca
itu, bisa dipahami dalam tempo yang begitu singkat.
Sebagai pemilik tulisan saja, yang telah melahirkan oretan itu, kadang saya
masih didera rasa pusing saat membacanya. Apalagi mereka sebagai pembaca yang tentu
lebih lihai dalam menilai. Bahkan tak jarang mereka mengirimkan pesan
penyemangat via whatsup. Do'a-do'apun
mereka kirimkan. Alhamdulillah. Semoga do'a-do'a itu Allah kabulkan. Do'a yang
sama untuk mereka.
Namun saat bertanya pada mereka, apa topik pada tulisan yang telah
mereka puji? Apa ada kesalahan pengetikan disana? Jawaban tak serta merta
didapatkan. Tiba-tiba percakapan via media sosial terjeda. Sungguh sangat
mengherankan. Kenapa mereka tidak punya jawaban? Padahal sebelumnya berbicara
berapi-api melalui pesan whatsup nya.
Itu terjadi berkali-kali dan didapatkan dari orang yang berbeda.
"Ah, ternyata mereka cuma sedekah like di akun media sosial penulis pemula ini sobat".
"Thank you atas
sumbangannya." Tawa hampa pun bergema dalam ruang pikiran.
Hal yang sama terjadi ketika ada pihak yang mengejek untaian kata yang
sudah dirangkai mati-matian. Ketika ditanya siapa nama tokoh yang disebut dalam
artikel yang sedang diejeknya? Mereka tak bisa segera menjawab. Minta saran
perbaikanpun tak digubrisnya. Butuh waktu untuk memberikan jawaban. Padahal
status masih online. Kenapa
pembicaraan tiba-tiba terhenti. Tak selancar pesan ejekan yang baru saja
dihadiahkannya. Apa mereka baru akan membaca oretan penulis pemula ini? Ketika
pertanyaan tak terduga muncul dari pemilik tulisan yang dihinanya?
Sejak saat itu, sebagai penulis pemula saya mulai menata hati. Tidak
terlalu terpengaruh dengan kicauan yang tak memiliki energi positif. Buang saja
semua ocehan yang akan mematikan potensi. Jangan terlalu bahagia menerima
pujian yang melenakan. Karena, belum tentu mereka yang telah menabur pujian
atau menyematkan hinaan itu sudah membaca karya tulis kita dengan saksama.
Entah itu membaca sekilas ataupun membaca penuh penghayatan.
Mari sama-sama belajar mengelola pujian dan kritikan tajam sekalipun
dengan porsi biasa saja. Agar tak mudah melambung lalu terhempaskan. Itu sangat
menyakitkan. Atau terpuruk dengan cercaan. Lalu enggan untuk bangkit lagi. Itu
semua akan merugikan diri sendiri.
Jangan pernah berhenti berkarya Teruslah menulis tanpa terhenti oleh
komentar orang lain. “Terus saja menulis untuk menuju keabadian serta membuat
hidup lebih bermakna.” (Cahyadi Takariawan)